Sewaktu aku kecil dulu, aku pernah bertanya kepada Ayah begini, “Ayah, kenapa rumah kita kecil sekali? Padahal teman-temanku mempunyai rumah yang lebih besar. Mereka sering berkata “miskin” padaku. Memangnya miskin itu apa, yah? Apa miskin itu karena punya rumah yang kecil?”
Ayahku menghembuskan asap rokoknya lalu berkata, “Tidak, nak. Miskin itu bukan karena punya rumah yang kecil.”
“Lalu, apa, yah?” tanyaku sambil mendekatinya.
Dia menggendongku dan menaruhku di pangkuannya. “Ayah akan memberitahumu, tapi kau harus janji untuk tidak melupakan apa yang akan ayah katakana. Ya?”
“Baiklah, yah.” Jawabku sambil mengangguk.
“Miskin itu tidak punya Tuhan, tidak punya kasih dan tidak bahagia. Kau boleh punya rumah yang besar tapi jika kau tidak punya Tuhan, tidak punya kasih, dan tidak bahagia, kau sama dengan NOL. Nol itu tidak berarti apa-apa. Di mata orang, kita mungkin nol karena rumah yang kecil di bawah jembatan bersama rongsokan, tapi di mata Tuhan kita adalah sesuatu yang berarti dan bernilai. Kita bukan NOL. Yah, sayang. Jangan pernah kau lupakan apa yang telah kuucapkan. Karena kau sudah berjanji dan janji harus ditepati.” Kata ayah dengan senyum yang paling manis yang pernah kulihat.
Aku mengangguk dan sampai hari ini, kata-kata itulah yang menopangku untuk meneruskan usahaku yang telah memberi makan 4000 orang dengan berlandaskan Tuhan, kasih dan aku bahagia dengan apa yang kumiliki sekarang ini. Dan kau tahu, rumahku sekarang masih tetap kecil (aku lebih nyaman di rumah kecil), namun di lingkungan yang lebih baik.
Read more...
Ayahku menghembuskan asap rokoknya lalu berkata, “Tidak, nak. Miskin itu bukan karena punya rumah yang kecil.”
“Lalu, apa, yah?” tanyaku sambil mendekatinya.
Dia menggendongku dan menaruhku di pangkuannya. “Ayah akan memberitahumu, tapi kau harus janji untuk tidak melupakan apa yang akan ayah katakana. Ya?”
“Baiklah, yah.” Jawabku sambil mengangguk.
“Miskin itu tidak punya Tuhan, tidak punya kasih dan tidak bahagia. Kau boleh punya rumah yang besar tapi jika kau tidak punya Tuhan, tidak punya kasih, dan tidak bahagia, kau sama dengan NOL. Nol itu tidak berarti apa-apa. Di mata orang, kita mungkin nol karena rumah yang kecil di bawah jembatan bersama rongsokan, tapi di mata Tuhan kita adalah sesuatu yang berarti dan bernilai. Kita bukan NOL. Yah, sayang. Jangan pernah kau lupakan apa yang telah kuucapkan. Karena kau sudah berjanji dan janji harus ditepati.” Kata ayah dengan senyum yang paling manis yang pernah kulihat.
Aku mengangguk dan sampai hari ini, kata-kata itulah yang menopangku untuk meneruskan usahaku yang telah memberi makan 4000 orang dengan berlandaskan Tuhan, kasih dan aku bahagia dengan apa yang kumiliki sekarang ini. Dan kau tahu, rumahku sekarang masih tetap kecil (aku lebih nyaman di rumah kecil), namun di lingkungan yang lebih baik.