Sedikit lagi pisau itu terhujam ke perutnya. Ya, perut ayahku. Aku akan membunuhnya. Aku benci padanya. Bahkan melihat mukanya pun aku tak sudi. Tidakkah dia mengerti bagaimana perasaanku sekarang? Tidakkah dia mengerti bagaimana keadaan keluarganya sekarang? Tidakkah dia mengerti apa yang seharusnya dia lakukan sebagai seorang ayah pada saat sekarang ini?
Sedikit lagi pisau itu terhujam ke perutnya. Ya, perut ayahku. Aku akan membunuhnya. Ibuku berteriak dan seperti mesin, tanganku berhenti seketika itu juga. Ibuku menangis, adikku berdiri di sudut ruang keluarga ketakutan. Apa yang kurasakan sekarang sangatlah membara. Aku seperti ingin menghancurkan tembok di sekitarku, aku ingin mengobrak-abrik semuanya. Tanganku bergetar. Ketika tanganku berhenti dan lambat laun turun, aku merasa lemas. Duduk terdiam dan ibuku tetap melanjutkan tangisannya. Adikku, ya adikku, dia sekarang duduk meringkuk di sudut ruang keluarga.
Setelah rasa membara itu cukup reda, aku mengangkat diriku dengan paksa dan berdiri di depan ayahku yang terjebak di dapur dengan wajah pucatnya . Hahaha… aku ingin tertawa melihat wajahnya yang seperti itu. Wajah yang dahulu tak pernah sedikit pun berpaling padaku, kini berpaling dan berwarna pucat. Menjijikkan!
“Kau… ya kau!! Menjijikkan! Taik! Anjing! Mana ada orang seumurmu yang begitu bodoh?! Sudah tua tapi tak pernah belajar! Dulu ketika kau masih punya uang, kau buang kami! Kau sibuk dengan pekerjaan sialanmu itu! Sekarang apa? Hah? Sekarang apa? Kau tidak berbuat apa-apa! Aku yang menjadi korban semua ini! Korban kebodohanmu! Korban kenaifanmu untuk percaya kepada keluarga sialanmu itu!" Aku mengeluarkan semua isi kepalaku seketika itu juga tanpa sedikit pun berniat untuk merendahkan nada suaraku.
Aku tak sudi mengeluarkan setetes air mata untuk pecundang satu ini, tapi tak bisa. Aku tak bisa mengendalikannya. Kulanjutkan perkataanku sambil terisak,
“Ka kau… kau kira aku senang bekerja? Hah? Aku ingin sekolah seperti…” kutarik ingusku, “saudara-saudara sepupuku yang lain! Aku malu! Aku maluuuuu!! Kenapa kita harus hidup miskin? Kenapa kita tidak seperti dulu? Kenapa kita tidak punya rumah yang besar dan mobil lagi? Hah? JAWAB AKU! DASAR KAU PECUNDANG!”
“Maafkan aku, nak!” kata manusia sialan itu menjawabku sambil berlutut memohon. Aku tak lagi ingin memanggilnya “ayah”.
“Nak? NAK?! Jangan pernah panggil aku “nak”, goblok! Aku tidak sudi punya ayah yang goblok seperti dirimu!”
Kulihat ibuku, tak berhenti menangis. Kepalaku berputar dan berputar. Aku harus melakukan sesuatu, aku sudah lelah. Jika kusuruh sialan ini pergi, ibuku akan terus bersedih dan aku akan terus merasa bersalah.
Kutarik napas sekuat tenaga dan kuhembuskan... aku sedikit tenang, lalu kataku, “Kau boleh tinggal di rumah ini. Itu hanya karena ibu. Tapi jangan pernah berharap kau dan aku tetap menjadi “ayah dan anak”. JANGAN PERNAH!”
Ah, pisau di tanganku ternyata belum terlepas. Aku berbicara dengannya ternyata dengan mengacung-acungkan pisau. Setelah kurasa pembicaraan sudah selesai, pisau itu kubawa ke kamar. Kuletakkan di sampingku, lalu aku berbaring dan membersihkan wajahku dari ingus dan air mata dengan bajuku. Berjaga-jaga jika saja dia mencoba untuk membunuhku. Itulah keluarga. Kau tahu langkah apa yang selanjutnya akan dilakukan oleh anggota keluargamu. Kau sangat mengerti orang seperti apa mereka.
“Kau harus ingat, di dunia ini tak ada orang yang dapat dipercaya, bahkan keluargamu sekalipun.”
Itu kata manusia sialan itu padaku.
Greetings!
I'm Fenny and welcome to my site. What will you find in this site? Well, you tell me. The words represent what's on my world. You like it or not, it doesn't matter at all. Have a nice read!!
Selasa, 13 September 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
hi, can I help you? ^_^