Kenapa kami tidak bisa bersama? Kenapa kami tidak bisa
saling mencintai? Kenapa kami tidak bisa bersatu? Kenapa... kenapa harus kami?
Apakah ada yang salah? Agama, pendidikan, latar belakang keluarga,
pekerjaan... semua sudah sesuai kriteria. Lalu apa yang salah? Mengapa kami
tidak bisa bersama?
Pertanyaan itu selalu muncul di otakku. Kau bilang, “Ibu tak
setuju karena warna kulit kita berbeda. Kita memang tinggal di negeri yang
sama, tapi negeri asalku bukan di sini. Negeri asalku adalah negeri yang
menjunjung tinggi keturunan asli. Aku benar-benar mencintaimu, tapi kita tidak
bisa bersama. Bagaimanapun juga dia adalah ibuku. Ibu yang melahirkan dan
merawatku selama ini, tapi percayalah bahwa aku benar-benar mencintaimu.”
Saat itu juga kau katakan kepadaku bahwa aku harus
menjauhimu. Semuanya demi hati kita, katamu. Tak ada manusia yang ingin sakit
hati. Tapi mendengar kata menjauhi saja, hatiku sudah mulai sakit, sayangku.
Lalu apalah yang akan terjadi jikalau aku melakukannya nanti? Ah, hatiku
mungkin akan hancur berkeping-keping. Takkah kau mengerti, sayangku?
Kata seorang temanku ketika kuceritakan keadaan kita berdua,
“Menghindar atau menjauh adalah sebuah mekanisme pencegahan rasa sakit.” Kenapa
dia berpihak padamu? Aku hanya tak ingin menyerah terhadap apa yang telah aku
putuskan... mencintaimu!
Terlalu berisik. Aku berusaha untuk tidur agar kepalaku
menutup mulutnya sedikit. Di dalam kereta ini, kereta yang membawaku pergi jauh
darimu bersama cincin yang sudah menjadi kalung, pasangan cincinmu! Ah, kuharap
kau tak membuangnya. Aku lelah, sayang. Kusampaikan kecupanku melalui setiap
partikel udara yang ada di bumi ini, melalui setiap debu yang ada di bumi ini.
Semoga ketika kereta ini tiba di tujuannya, aku pun bisa sedikit melupakan
dirimu yang bahkan bukan lagi hanya sebuah siluet, tapi syaraf otak yang terus
beregenerasi, melingkupi, menyampaikan impuls-impuls ke seluruh tubuhku dan
aku... hidup!
Stasiun kota blitar, 17:37, Gerbong 1 (12D-12E)